FPII Sebut Dewan Pers ‘Sesat dan Ngawur’ Karna Larang Pemda Kerjasama dengan Media Nonverifikasi

FPII Sebut Dewan Pers ‘Sesat dan Ngawur’ Karna Larang Pemda Kerjasama dengan Media Nonverifikasi

2 November 2019 Off By Redaksi

JAKARTA – Forum Pers Independent Indonesia yang dibentuk sebagai Garda Terdepan Pembela Insan Pers dari  kriminalisasi dan intimidasi, kini tengah mempertanyakan kebijakan atau aturan baru yang tengah membuat geger insan pers di seluruh Indonesia.

Hal ini terkait adanya aturan verifikasi media  oleh Dewan Pers yang ditengarai telah banyak mengandung kejanggalan dan sarat akan kepentingan.

Statement tersebut disampaikan oleh Bunda Kasihhati, Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) saat dimintai tanggapan terkait berbagai polemik verifikasi yang banyak dikeluhkan oleh media-media, khususnya media second line yang saat ini dipandang sebelah mata keberadaannya.

Dan terkait adanya pernyataan yang menyebutkan Pemerintah Daerah ataupun lembaga pemerintahan yang dilarang melakukan kerjasama dengan media nonverifikasi, Ketua Presidium FPII menegaskan bahwa hal tersebut adalah  sebuah kesesatan yang nyata dan patut dipertanyakan tentang arah kebijakan ataupun seruan yang dicuatkan kepublik itu.

“Dalam memahami dunia Pers, tidak bisa dilihat hanya sekedar melalui sudut pandang pengusaha ataupun penguasa. Pers itu merupakan kontrol sosial dan sosial support. Di lingkup Pers tidak boleh ada faktor suka atau tidak suka, semua harus mengacu pada literasi dan berpegang teguh pada UU Pers No. 40 Tahun 1999 serta Etika Jurnalistik,” tegas wanita yang juga mengomandoi Dewan Pers Independen ini.

Kendati demikian, Kasihhati sendiri mendukung adanya sistem pendataan media, untuk menyaring agar tidak adanya media-media yang dipergunakan secara sembarangan atau untuk kepentingan tertentu, yang akhirnya membuat media yang benar-benar berfungsi sebagai kontrol sosial jadi terganggu.

Untuk mendata keberadaan media-media yang asal jadi dan akhirnya memperburuk citra media yang benar-benar berfungsi sebagai kontrol sosial dan sesuai aturan, silahkan saja dilakukan.

“Namun harus sesuai dengan koridor yang ada dan aturan jangan dibuat pincang, apalagi dibalut kepentingan,” ungkapnya.

Kasihhati juga mengatakan pihaknya setuju jika aturan itu dibuat untuk membenarkan, sebagai pakem arahan dan bimbingan menuju kearah yang lebih baik. Bukan malah membelenggu kebebasan pers itu sendiri.

“Kami tidak setuju jika Pendataan perusahaan media dikaitkan dengan proses uji kompetensi ataupun perusahaan media distratakan seperti perusahaan-perusahaan industri komersial. Jika ini terjadi, hancur negara ini karena mereka akan bermain propaganda dan opini sesuai dengan pesanan dan hal ini dipastikan akan menghancurkan independensi serta idealisme.

Sedangkan terkait pernyataan Ketua Dewan Pers yang menyebutkan Pemerintah Daerah dan institusi negara dilarang bekerjasama dengan media nonverifikasi, Kasihhati menegaskan ini sebuah kesesatan yang nyata dan terkesan ngawur.

“Kami sangat menyayangkan jika pernyataan itu benar adanya, karena itu sama juga Dewan Pers menjadi alat pembodohan publik dan ini keluar dari koridor yang seharusnya mencerdaskan. Bagaimana bisa lembaga yang seharusnya mengedepankan pencerdasan melalui pemberitaan malah memberi tauladan pembodohan. Ini saya pikir perlu diluruskan dan pernyataan itu perlu ditarik dari publik,” tegasnya.

Kasihhati menyerukan kepada seluruh insan pers dan pemilik media, khususnya media-media second line bahwa acuan dalam menjalankan media dan melakukan tugas jurnalistik adalah UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999, dimana didalamnya dijelaskan bahwa, untuk perusahaan Pers harus memiliki berbadan hukum.

“Jangan libatkan kepentingan, di dalam dunia Pers karena itu akan menjadi bumerang. Kalau perlu Ketua Dewan Pers diuji kompetensikan sebelum menjabat jadi Ketua Dewan Pers, agar khitoh dan trahnya sesuai dengan pengalaman sebagai praktisi media,” ungkapnya secara gamblang.

 

(EFG/FPII )