Mengaku Disogok, Pernyataan Keluarga PDP Ini Dibantah Pihak Rumah Sakit

Mengaku Disogok, Pernyataan Keluarga PDP Ini Dibantah Pihak Rumah Sakit

2 Juni 2020 Off By MAX ALVIAN

PALU – Viral sebuah Video terkait pernyataan ada pihak rumah sakit di Manado lakukan sogok terhadap keluarga dari jenazah yang meninggal dunia dengan status pasien dalam pengawasan (PDP).

Dalam video yang berdurasi 10 menit 42 detik itu, anak dari almarhum mengatakan, bahwa sang ayah sebelumnya diperiksa negatif Covid-19.

Ia menerangkan, bahwa pada saat selesai memandikan jenazah ayahnya, pihak RS dalam hal ini dokter yang menangani memberikan sejumlah uang kepadanya beserta pak Imam.

“Mereka (dokter) ada beri uang. Setelah ayah saya dimandikan, dari RS akan masukkan ke peti tapi kami keluarga menolak. Dokter kasih uang tapi kami tolak,” ucapnya dalam video itu.

Dalam video tersebut juga, si perekam berulang kali menyatakan bahwa ada terjadi sogok terhadap keluarga dan meminta untuk diviralkan.

Si perekam tersebut juga menanyakan apakah ada tidaknya bukti soal pemberian uang, anak dari almarhum tersebut mengatakan tidak ada.

“Tidak ada, namun saat itu ada adik saya dan pak imam yang mendengarkan”, jelasnya.

Peristiwa ini terjadi di Kecamatan Singkil, Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara.

Diketahui, pasien meninggal dunia di Ruang ICU Isolasi RSU Pancaran Kasih GMIM Manado, Senin (1/6) sekira pukul 13.30 Wita.

Pasien yang masuk rumah sakit (RS) sejak 26 Mei lalu itu, diketahui masuk kategori PDP lantaran didiagnosa mengalami Pneumonia dan kehilangan kesadaran.

Mengutip Manadopost, Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Provinsi Sulawesi Utara Sulut (Sulut) Steaven Dandel mengatakan, keluarga pasien tidak mau dimakamkan tatacara Covid-19 dan membawa lari jenazah dari RSPK.

“Jadi petugas medis dan keamanan terkurung di dalam RS. Tindakan tim medis mempertahankan status PDP. Tapi kalau sudah ada dalam situasi yang mengancam jiwa, prioritas utama adalah keselamatan diri. Kasus ini bisa dibawa ke ranah hukum oleh RS. Karena sudah ada perusakan fasilitas,” jelasnya.

Dandel menambahkan, dari provinsi memiliki tim pendamping psikologis untuk masalah seperti ini. Tapi ungkapnya, situasi di lokasi pada waktu itu, tidak bisa dilakukan tindakan apapun.

“Bahkan tokoh agama yg dilibatkan juga dikurung di dalam RS. Situasi tidak terkendali. Karena jumlah massa sangat banyak,” katanya.

Dandel menanggapi terkait isu pemberian uang dalam kasus tesebut. Menurutnya, dalam SOP tidak ada kebijakan pemberian uang kepada keluarga.

“Yang saya tangkap di dalam status dokter Suyanto, disebutkan uang diserahkan kepada imam yang dipanggil pihak RS untuk memandikan dan mensholatkan jenazah. Bukan kepada keluarga,” tuturnya.

Masih mengutip Manadopost, Direktur Utama (Dirut) RS Pancaran Kasih dr Frangky Kambey mengatakan, bahwa tudingan keluarga salah satu pasien yang mengatakan pihak RS menyogok agar jenazah pasien tersebut dimakankan sesuai protap Covid-19 tidaklah benar.

Kambey menegaskan,  isu menawarkan uang sogok kepada keluarga pasien, tidak benar.

“Saya atas nama direksi dan seluruh karyawan RS GMIM Pancaran Kasih, turut berbelasungkawa atas kepergian almarum yang meninggal di rumah sakit kami siang tadi (kemarin, red),” katanya.

Lanjutnya, setiap pasien yang masuk RS, baik ODP, PDP, dan positif Covid-19, langsung dinotifikasi ke Gugus Tugas Kota Manado dan Pemprov Sulut. Apabila pasien meninggal, juga diberi tahu ke Gugus Tugas. Ada protokol yang dilakukan jika pasien meninggal. Yakni protokol jenazah, karena situasi wabah.

“Di RS kami, yang meninggal ada pasien yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Muslim, Budha, dan Hindu. Masing-masing ada penanganan sesuai agamanya. Kebetulan pasien ini beragama Muslim. Jadi kami menggunakan fatwa MUI nomor 18 tahun 2020 tentang pedoman pengurusan jenazah muslim yang terinfeksi Covid-19,” jelasnya.

Di pasal 7 katanya, disebutkan jenazah bisa dimandikan, dikafani, dan disalatkan oleh pemuka agama yang beragama muslim.

“Di kami ada kebijakan, karena ini bukan yang pertama, biasanya kami memberikan insentif kepada yang memandikan, mengkafani, dan mensalatkan jenazah. Mengingat mereka menanggung resiko yang besar, dalam hal ini tertular, maka harus menggunakan APD level 3. Biasanya kami berikan insentif sebesar Rp 500 ribu per orang,” ungkapnya.

Lanjut Kambey, kebetulan yang terjadi adalah yang memandikan, mengkafankan dan mensalatkan hanya satu orang, biasanya tiga. Sehingga petugas RS melaporkan, ada dua insentif yang tertinggal. Sehingga dia menginstruksikan, berikan saja ke siapa saja yang disitu. Kebetulan yang ada di situ keluarga.

“Menurut petugas, keluarga tidak menerima. Jadi sebenarnya ada kesalahpahaman. Kalaupun kami salah, kami minta maaf. Tapi dari lubuk hati yang terdalam, kami hanya menjalankan kebijakan. Misalnya pun kalau diterima, anggaplah itu sebagai ungkapan belasungkawa kami, bukan seperti yang diisukan bahwa kami menyogok untuk mengatakan pasien ini positif Covid-19,” urainya, sembari mengatakan, pasien tersebut terdiagnosa sebagai PDP. Karena itu, protokol yang digunakan adalah penanganan jenazah Covid-19.

Kambey juga mengklarifikasi, pihaknya tidak pernah membolehkan jenazah pasien dibawa pulang.

“Kalau kami membolehkan, kami bisa diproses karena melanggar protokol. Semua pasien yang meninggal, baik statusnya ODP, PDP, dan positif, harus dinotifikasi ke Gugus Tugas Manado. Jadi kami sudah melakukan tugas dan kewajiban kami, yakni menangani dan melaksanakan apa yang menjadi protokol. Prinsip kami adalah menjalankan tugas, dan menunaikan misi kemanusiaan tenaga kesehatan. Kalaupun ada kesalahan, mungkin miskomunikasi antara dua belah pihak, kami mohon maaf,” tangkasnya**(Red/Infopena.com)