
Asian Games dan Soliditas Sosial
22 September 2018Epifanius Solanta
(Penulis Buku Dialektika Ruang Publik, Pertarungan Gagasan)
NESIATIMES.COM – Pesta olahraga terbesar di Asia yang bertajuk Asian Games sudah selesai. Dua kota besar, Jakarta dan Palembang menjadi tempat bagi para atlet untuk berkompetisi, sekaligus menjadi saksi bisu para atlet menerima penghargaan. Pada Minggu 2 September 2018 bertempat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, diadakan acara penutupan (closing ceremony) Asian Games yang diikuti oleh semua negara peserta Asian Games. Suasana begitu ramai dan mengundang decak kagum dari banyak pihak.
Perayaan Asian Games ke-18 ini menempatkan Indonesia di urutan ke empat dengan perolehan medali 98, terdiri dari Emas 31, Perak 24 dan Perunggu 43. Indonesia berada di bawah Cina yang meraih peringkat pertama dengan perolehan medali sebanyak 289, Jepang 205 dan Korea Selatan 177. Bagi Indonesia, ini merupakan sebuah prestasi besar karena melampaui target atau ekspetasi mereka. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Gatot D Dewa Broto “untuk Asian Games 2018, Indonesia menargetkan masuk 10 besar klasemen perolehan medali atau kalau bisa posisi delapan besar. Ini mengacu pada Asian Games 2014 di mana Qatar berada di posisi 10 dengan raihan 10 emas, begitu juga dengan Malaysia pada edisi 2010 dengan koleksi sembilan emas”.
Behind the Fact
Indonesia berhasil menempati posisi keempat perolehan medali pada Asian Games ke-18 dan melampaui target merupakan fakta dan bukan fiksi. Kita tentu berbangga dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada putera dan puteri terbaik bangsa ini yang sudah memberikan kontribusi besar dalam meraih prestasi. Dibalik pujian, apresiasi dan rasa bangga tersebut, kita boleh memeriksa beberapa poin penting yang mungkin saja luput dari perhatian publik.
Pertama, fakta tentang Indonesia menduduki peringkat keempat dalam pesta Asian Games ke-18 menegaskan besarnya faktor soliditas dan solidaritas masyarakat Indonesia dalam mendukung para atlet. Dukungan baik finansial maupun moral menjadi energi tersendiri bagi para atlet untuk berjuang secara maksimal. Kedua, faktor tuan rumah juga menjadi salah satu poin yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor tuan rumah erat hubungannya dengan proses adaptasi atau penyesuaian serta kebiasaan bagi para atlet dengan berbagai macam jenis perlombaan. Ketiga adalah energi dalam diri para atlet yang terus berkobar untuk senantiasa mendapatkan hasil yang maksimal. Medali (emas, perak dan perunggu) menjadi mimpi besar yang selalui menghantui diri para atlet. Mereka terus berjuang untuk menjadi yang terbaik dan berambisi untuk menjadi pemenang (the winner) dalam setiap kompetisi. Tentu saja kompetisi selalu disandarkan pada nilai kejujuran dan sportivitas. Sebagaimana ungkapan my game is fair play.
Nilai di Balik Asian Games
Di tengah suhu politik tanah air Indonesia yang memanas menjelang pesta demokrasi bertajuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024, Asian Games hadir sebagai energi oase yang sedikit menyejukan. Asian Games menyadarkan kita semua bahwa nilai kohesi sosial merupakan sesuatu yang mutlak untuk meraih kesuksesan. Asian Games tidak lagi berbicara tentang asal usul, ras, suku, agama dan antar golongan. Asian Games hanya cerita tentang harga diri dan martabat sebuah bangsa.
Dalam sepak bola, ketika merayakan selebrasi usai mencetak gol ke gawang lawan, di pinggir lapangan para pemain melakukan ujud syukur. Ada yang mencium tanah, ada yang mengatupkan tangan di dada. Mereka melakukan selebrasi sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Sungguh indah. Di dalam lapangan maupun di luar lapangan, mereka hanya menyebut diri sebagai pemain Timnas Indonesia, bukan pemain suku tertentu atau agama tertentu. Persatuan, soliditas dan solidaritas menjadi nilai integral yang menghidupi diri para atlet. Dalam beberapa kesempatan juga kita menemukan kolaborasi para pemain volly puteri. Ada yang memakai jilbab, ada yang memakai kalung salib dan lain sebagainya. Tetapi mereka tetap kokoh dan penuh energi persatuan dalam meraih medali. Hingga akhirnya pesilat Indonesia, Hanifan Yudani Kusumah mengekspresikan kebahagiaan setelah meraih medali emas dengan memeluk Presiden Jokowi dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto secara bersamaan. Tepuk tangan pun bergemuruh di dalam ruangan. Hanifan berhasil menyatukan dalam pelukan persatuan kedua tokoh yang kembali bertarung dalam Pilpres 2019.
Mengakhiri tulisan ini, saya coba mengutip kata-kata yang ditulis oleh Carron dan Spink: the terms cohesion and group are tautological; if a group exists, it must be cohesive to some degree. Dalam sebuah kelompok yang terpenting adalah kohesi sosial. Pencapaian prestasi yang didapatkan oleh para atlet juga merepresentsikan tentang kekuatan kohesi sosial. Sebagai bangsa yang besar dan bertumpu pada semangat persatuan dan kesatuan, Indonesia harus tetap mengedepankan nilai kohesi sosial, bukan justru mengarah kepada disintegrasi sosial.