Jangan Gadaikan Intelektualmu

Jangan Gadaikan Intelektualmu

21 September 2018 Off By admin nesiatimes.com

Oleh : Epin Solanta

(Penulis Buku Dialektika Ruang Publik, Pertarungan Gagasan Alumnus Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

NESIATIMES.COM, – Perhelatan pesta demokrasi bertajuk pilkada/pilwakot, pileg sampai pilpres menyisahkan beragam kisah dan cerita menarik. Kisah tersebut tak semata-mata soal perang argumen, adu gagasan atau visi dan misi dari setiap figur. Tetapi lebih dari itu adalah kemampuan dan kelihaian dalam mereproduksi aneka macam kebohongan untuk memanipulasi hati rakyat sebagai pemilih (voters). Tak sampai pada titik itu, sekelompok orang yang memiliki high quality secara akademik seringkali menjadi aktor yang justru mereproduksi dan ikut mendiseminasikan informasi bohong (hoax) kepada masyarakat awam. Kenyataan ini merepresentasikan bentuk kebrutalan akademik, karena telah mencederai intelektualnya itu sendiri.

Musim politik seperti sekarang ini tak hanya menumbuhkan jamur-jamur seperti para calon yang ingin berjuang meraih kursi empuk kekuasaan, melainkan juga jamur-jamur yang menyebut dirinya sebagai pengamat politik. Para pengamat ini seringkali tampil dan tebar pesona di hadapan publik untuk suatu tujuan memberikan penilaian atau mengamati realitas politik yang terjadi saat ini. Sayangnya dari sekian banyak pengamat yang pure mengedepankan profesionalitas dan independensinya, juga muncul pengamat asal-asalan yang justru membodohi publik. Pengamat-pengamat seperti ini adalah pengamat bayaran yang sejatinya sudah disokong oleh aktor-aktor yang bertarung. Akibatnya ia kehilangan netralitas, yang dikedepankan adalah keberpihakan kepada calon tertentu.

Membanjirnya berita bohong (hoax) saat ini menjadi persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Mungkin saja benar apa yang dikatakan oleh Soekarno: perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan  lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Pekikan dari presiden pertama Republik Indonesia ini sangatlah benar dan relevan dengan situasi sekarang. Dimana tak sedikit anak bangsa yang awalnya sebagai kaum intelektual yang hendak mencerdaskan anak-anak bangsa yang lain, justru dengan mudah dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ini adalah sebuah ironi yang tiada akhir tatkala menghalalkan segala cara untuk mencapai popularitas diri di hadapan publik. Akademisi yang berseliweran dimana-mana telah terkooptasi untuk kepentingan jangka pendek, tak ada lagi upaya untuk merefleksikan diri akan apa itu akademisi.

Berpikir Out of Box

Logika berpikir kita hendaknya diarahkan pada satu titik, titik pengenalan akan diri kita sendiri. Cara berpikir menjadi kunci kesuksesan dalam menyikapi realitas masyarakat pasca kebenaran ini. Tatkala masyarakat disuguhkan dengan beragam tawaran yang sifatnya semu, tatkala kita digiring ke dalam arena kejahatan yang semu atau tatkala diri kita dijadikan alat untuk kepentingan meraih kekuasaan bagi segelintir orang, disitulah kita harus berpikir kritis. Kita harus menjadi agen yang mampu mementahkan beragam kepalsuan tersebut, bukan sebaliknya kita justru menjadi pribadi yang mengikuti kemana arus membawa kita.

Berpikir out of box adalah berpikir di luar kemapanan atau di luar zona nyaman yang sebenarnya membahayakan diri kita. Pribadi yang berintelek adalah yang bisa mendefinisikan dirinya dan mampu menampilkan pribadi intelektualnya kepada publik. Ia senantiasa hadir sebagai pribadi yang tidak mudah dipolitisasi, tetapi justru hadir membawa gagasan perubahan untuk kemajuan sebuah bangsa. Jangan gadaikan intelektual hanya untuk kepentingan kekuasaan, hanya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia yang tercinta ini. Menjadi pribadi yang berintelek adalah yang mampu menyemaikan beni-beni positif dan mendiseminasikan kepada masyarakat untuk kepentingan memajukan bangsa Indonesia. Tetaplah berdiri tegak pada karakteristik intelektual yang tangguh dan profesionalitas, mengedepankan unsur integritas.

 

 

 

(Sumber: Media NiasTIMES)