Kesadaran Palsu dan Konsumerisme : Diskusi Pengalaman dengan Pendapat Para Ahli

Kesadaran Palsu dan Konsumerisme : Diskusi Pengalaman dengan Pendapat Para Ahli

22 September 2018 Off By admin nesiatimes.com

NESIATIMES.COM- Tulisan ini diangkat berdasarkan pengalaman hidup penulis pada tingkat kesadaran palsu  yakni berpikir dan bertindak konsumerisme selama bertahun-tahun. Penulis mencoba mendiskusikan pengalaman hidup dengan pendapat para ilmuwan sosial. Penulis tidak sedang mencoba mendoktrin, tetapi sedang mencoba menjelaskan pengalaman secara runtut dengan bantuan teori, supaya menjadi referensi masyarakat umum untuk mengkaji kembali cara berpikir dan cara bertindak konsumerisme, untuk kembali ke dunia rasional.

Secara definisi, konsumerisme merupakan salah ekspresi budaya dan manifestasi dari tindakan konsumsi penulis. Pemahaman kata konsumerisme mengacu pada sebuah hidup yang dipenuhi dengan konsumsi secara berlebihan sehingga berdampak negatif. Menurut Sudjatmiko menyatakan jika konsumsi merupakan sebuah tindakan (an act), maka konsumerisme merupakan sebuah cara hidup (way of life). Konsumsi merupakan cermin aksi yang tampak, sedangkan konsumerisme lebih terkait dengan motivasi yang terkandung di dalamnya.

Munculnya budaya konsumsi di dalam diri penulis karena penulis diracuni oleh pemahaman yang menganggap barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan lain sebagainya. Padahal sebenarnya tidak, kebahagiaan tidak selalu terletak di sana. Penulis mulai beranjak berfikir lebih jauh, dan  berakhir pada konstruksi pemahaman baru. Pertama, ia dapat dinilai secara positif karena mengandung unsur pembelaan terhadap hak-hak para konsumen. Namun di sisi lain, konsumerisme lebih diartikan suatu paham atau keadaan yang berbentuk eksploitasi terhadap konsumen.

Konsumsi dipandang sebagai suatu proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan di dalam suatu objek. Ia dianggap sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung dalam objek-objek dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Konsumsi disebut juga sebagai proses objektivikasi, yaitu proses internalisasi dan eksternalisasi yang mana di dalamnya berlangsung proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek kemudian memberikan pengakuan serta menerima nilai. Dengan demikian, objek konsumsi dapat menandai status, prestige, dan simbol-simbol tertentu bagi pemakainya.

Pada tahapan pemahaman ini, konsumsi dilandasi oleh nilai tanda dan citraan bukan nilai guna, logika yang mendasarinya bukan lagi logika kebutuhan (need) melainkan logika hasrat (desire). Bila kebutuhan dapat dipenuhi setidaknya secara parsial, hasrat, sebaliknya tidak akan pernah terpenuhi.

Soedjatmiko mengungkapkan, “manusia tidak hanya ditawari apa yang mereka butuhkan (what they needed), melainkan pula apa yang mereka harapkan (what they desired). Dengan demikian wants berubah secara aktif menjadi need. Apa yang semula sekadar menjadi keinginan berubah menjadi kebutuhan.

Hasrat atau hawa nafsu inilah yang mendorong diri penulis untuk mengonsumsi secara membabi-buta tanpa mempertimbangkan aspek utilitas, hal itu dikarenakan hasrat dalam diri tidak pernah ada batasnya. Gilles Deleuze dan Felix Guattari menyatakan bahwa hasrat (desire) tidak akan pernah terpenuhi karena ia selalu direproduksi dalam bentuk yang lebih tinggi oleh apa yang mereka sebut mesin hasrat (desiring macine). Istilah tersebut mereka gunakan untuk menjelaskan reproduksi perasaan kekurangan (lack) di dalam diri yang ada secara terus-menerus.

Ketika hasrat dicoba dipenuhi lewat objek-objek konsumsi, maka akan muncul hasrat yang lebih tinggi terhadap objek-objek konsumsi lain yang lebih tinggi nilainya. Hasrat itu selalu ada dan akan selalu berupa hasrat akan sesuatu yang lain, yang berbeda. Tidak ada hasrat untuk sesuatu yang sama, untuk sesuatu yang telah dimiliki. Arus hasrat yang berbeda dan tak putus-putus ini menyebabkan subjek tenggelam dalam tanda, simbol, atau nilai-nilai lain yang tumpang tindih, simpang siur, dan kontradiktif.

Sifat tumpang tindih, simpang siur, dan kontradiktif inilah yang menjadi ciri produksi dan konsumsi objek-objek di dalam masyarakat kapitalisme akhir atau masyarakat konsumer. Objek-objek konsumsi yang terus diproduksi dan membombardir masyarakat seolah tidak pernah memenuhi kebutuhan dan tidak bisa memuaskan hasrat. Deleuze dan Guattari menyebut keadaan masyarakat konsumer yang seperti itu dengan istilah skizofrenia.

Penulis mengonsumsi produk-produk beraneka jenis dan beraneka macam desain yang sesungguhnya tidak dibutuhkan karena didorong hasrat dan terpengaruh oleh isu untuk mengikuti kemajuan jaman, sehingga yang timbul ialah sampah (manusia dan sumber daya alam). Keadaan inilah yang disebut dengan konsumerisme, ketika konsumsi tidak lagi memiliki definisi yang sederhana yaitu sekadar menghabiskan nilai guna suatu barang, namun kemudian dipandang sebagai proses memberi identitas melalui benda-benda konsumsi.

Disinilah letak konsumerisme, dalam arti mengubah konsumsi yang seperlunya menjadi konsumsi yang mengada-ada. Motivasi diri untuk berbelanja tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan primer, melainkan terkait dengan hal lain yakni identitas. Seseorang membeli barang-barang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhannya, akan tetapi demi harga dirinya.

Aktivitas berbelanja dalam konsumerisme menjadi tolak ukur jati diri hidup manusia yang terkait banyak aspek, di antaranya aspek psikologis dan sosial. Aspek psikologis misalnya adalah adanya hubungan antara aktivitas belanja dengan rasa gengsi (prestige).Sedangkan dalam aspek sosial, berbelanja bisa dikatakan sebagai penanda status seseorang. Dengan demikian, barang-barang konsumsi telah berubah menjadi sebuah tanda dan simbol yang dapat merepresentasikan identitas pembeli atau pemiliknya.

Dalam pandangan Sigmund Freud (1856-1939) hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia : yaitu Oral (id). Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan.Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengkonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal.

Herbert Marcuse berargumen bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu yang bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial: Orang-orang mengenali diri mereka di komoditas mereka; mereka menemukan jiwa mereka dalam mobil, rumah bertingkat, perangkat hi-fi, dan lain sebagainya. Hal tersebut membuat nilai-nilai masyarakat berubah, dan menyebabkan kontrol sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan baru yang telah dihasilkan.

Menurut Marcuse, produsen/pengiklan mendorong kebutuhan palsu misalnya, keinginan menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus, dan menggunakan barang-barang khusus. Pendapat Marcuse terkait dengan kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi, yaitu kekuasaan kapital (modal), kekuasaan produser, dan kekuasaan media. Ketiga bentuk kekuasaan inilah yang mendukung dalam menentukan bentuk gaya dan seni serta produksi dan konsumsinya.

Judith Wiliamsons mengemukakan bahwa konsumsi memberikan perasaan kebebasan atau bahkan kekuasaan tertentu kepada subjeknya.Dengan membeli dan memiliki suatu barang, subjek merasa memiliki rasa mengontrol yang dilihat Wiliamsons sebagai representasi kekuasaan.Objek konsumsi dijadikan sebagai alat untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu yang secara penuh dikontrol oleh subjeknya. Objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya.

Pandangan Williamsons tersebut dibantah oleh argumen dari Jean Baudrillad yang berpandangan skeptis dan fatalis. Ia melihat kekuasaan dan daya kontrol tersebut sebagai bersifat semu belaka. Menurutnya kita tidak lagi mengontrol objek, akan tetapi dikontrol oleh objek-objek tersebut.

Kita tidak menguasai simbol-simbol, status, dan prestige lewat objek-objek konsumsi, justru terperangkap di dalam sistemnya. Sebagai konsumer kita tidak dalam posisi aktif dalam kegiatan penciptaan dan tindakan kreatif, melainkan layaknya jaring laba-laba yang menjaring dan mengonsumsi apa pun yang ada di hadapan kita. Fungsi objek konsumsi yang semakin kompleks juga jenis dan tata nilainya yang semakin beragam, dibarengi dengan siklus perputaran dan tempo pergantian yang cepat menyebabkan konsumer tak lagi memerhatikan proses internalisasi, yang mereka lakukan hanya mengonsumsi dan mengonsumsi. Hal itu mereka lakukan atas dorongan kegairahan terhadap pesona objek konsumsi yang datang silih berganti.

Kegairahan dan hasrat mengonsumsi tersebut tak bisa dilepaskan dari peranan kapitalisme. Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi dijadikan komoditi untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan. Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai-nilai utilitas atau nilai guna (use value), akan tetapi untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar (exchange value). Kapitalisme memproduksi komoditi untuk kebutuhan pemakai, akan tetapi, komoditi yang dimaksud telah dilekati dengan nilai-nilai lain (status, simbol, prestige). Apa yang diproduksi kapitalisme dengan demikian tak lebih sebagai pemenuhan kebutuhan palsu-kebutuhan yang diciptakan oleh para produser.

Dalam hal ini, Theodor Adorno melihat kapitalisme sebagai satu bentuk penipuan massa (mass deception) ia  menciptakan kebutuhan yang sebetulnya tidak dibutuhkan secara hakiki. Apa yang dilakukan kapitalisme terhadap masyarakat adalah menjadikan mereka patuh pada hukum yang diciptakan kapitalisme. Keadaan tersebut menurut Adorno telah menghasilkan sebuah kebudayaan industri (culture industri), yaitu satu bentuk kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan mekanisme kekuasaan sang produser dalam penentuan bentuk gaya dan maknanya, seolah satu bentuk pengomandoan konsumer. Pandangan Adorno terhadap kebudayaan industri dinyatakan sebagai berikut :

Setiap orang harus bertingkah laku sesuai dengan kondisi yang sebelumnya telah direncanakan dan ditentukan baginya, dan memillih kategori produk massa yang dibuat khusus sesuai dengan tipologi mereka. Para konsumer muncul sebagai statistik pada tebel-tabel organisasi riset, dan mereka dikelompokkan berdasarkan pendapatan ke dalam daerah merah, hijau, dan biru.

Bagi Adorno, kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumanisasi kebudayaan. Tidak saja menghambat aspirasi dan kreatifitas individu, akan tetapi lebih buruk lagi menghapus mimpi-mimpi manusia akan kebebasan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Yang didapatkan konsumer dalam proses konsumsi produk dan seni tak lebih dari kebebasan dan kebahagiaan palsu. Konsumer diberi kebebasan memilih kategori produk, gaya dan gaya hidup. Akan tetapi, apa yang sesungguhnya diperolehnya dari proses konsumsi tak lebih dari kebebasan di dalam keterbatasan pilihan.

Peranan produsen dan media massa dalam membentuk tatanan nilai suatu komoditas kemudian mempengaruhi persepsi masyarakat, sehingga kemudian berbondong-bondong mengkonsumsi komoditas tersebut demi membeli nilai yang digembor-gemborkan oleh produsen dibantu media massa. Sunardi menyebut keadaan ini dengan istilah mode of consumption, di mana terjadi penyeragaman rasa, baik dalam konsumsi barang-barang fisikal, material sampai dengan ilmu. Massifakasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari skenario pemilik modal dengan tujuan membentuk masyarakat yang sama rasa, yang mengonsumsi barang-barang komoditas yang diproduksinya.

Hal demikian sejalan dengan sifat kapitalisme yang mementingkan modal dan menggunakan segala cara untuk mencari pasar baru dan mengembangkannya sejauh memberi keuntungan. Baudrillad melukiskan situasi ini dengan ungkapan implosion:

Media massa telah menyatukan manusia kemudian membiarkannya meledak ke dalam batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi, kelas, cair luluh begitu saja. Yang tinggal hanya satu: massa dengan ketidakpastian yang muncul karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti luluh, batas-batas baru sangat bergantung bagaimana suatu kelompok sosial dihadirkan dalam media.

Kelompok sosial yang terbentuk pada proses tersebut akan dianggap menempati status sosial tertentu dan memiliki identitas tertentu. Yaitu status sosial dan identitas yang didapatkan setelah mengkonsumsi barang komoditi tertentu, yang ditawarkan oleh media massa dan digembor-gemborkan memiliki nilai-nilai lebih. Proses konsumsi ini kemudian membentuk gaya hidup (lifestyle) yang mendasarkan diri pada barang material sebagai penanda diri. Gaya hidup demikian menyebabkan konsumen yang sebelumnya memaknai barang dari aspek fungsionalnya saja, beralih memaknai barang secara simbolik.Dalam kehidupan modern, agaknya pemaknaan simbolik tersebut telah menjangkiti masyarakat dewasa ini.

Jadi, penulis merasa berada pada kesadaran palsu selama ini, digelebui oleh hasrat dan kesenangan semata sehingga menjadi konsumerisme sebetulnya telah tertipu oleh permainan kapitalis dengan produk-produknya yang beraneka ragam.

 

Penulis :

Efrem Gaho / Pimpinan Komunitas Hidup Bersosial Indonesia