
Salib Adalah Simbol Pengorbanan dan Kemenangan Bagi Umat Kristiani
25 Agustus 2019Tuhan Yesus pernah bersabda:
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu” (Yoh. 15:13-14). Ia mempersembahkan diri-Nya bagi kita, para sahabat-Nya, lewat sengsara dan wafat-Nya, bahkan sampai Ia wafat di kayu salib. Itu dilakukan-Nya semata-mata karena Ia mengasihi kita.
Maka, sebagai bentuk balasannya, sudah layak dan sepantasnya kita mengasihi Dia sebagaimana Dia sudah terlebih dahulu mengasihi kita. Cara kita mengasihi Dia adalah dengan tidak menyangkal dan tidak mengkhianati Dia di depan siapapun juga dan dalam keadaan apapun juga. Dengan kata lain, jangan pernah malu untuk menjadi orang yang percaya pada Dia yang tersalib.
Bagi kita, salib merupakan cara Tuhan mengangkat derajat kita; sehingga kita yang dulunya berkubang dalam lumpur dosa diangkat kembali ke permukaan dan menjadi ciptaan Tuhan yang sungguh amat baik (bdk. Kej. 1:31).
Maka, bagi kita, salib bukanlah aib melainkan tanda kemenangan; dan karena itu kita tidak perlu merasa malu hanya karena membuat tanda salib.
Tanda salib, bagi umat Katolik, mengandung makna yang sangat dalam. Dengan tanda ini, kita diingatkan untuk senantiasa mengandalkan Tuhan Yesus di dalam hidup kita; tanpa melupakan kebersamaan kita dengan sesama manusia. Ya, kita percaya bahwa tanda salib menghubungkan kita dengan Tuhan (vertikal) dan dengan sesama (horizontal).
Dengan membuat tanda salib di badan, itu berarti bahwa kita membiarkan badan kita diberkati oleh Tuhan. Maka, tubuh yang diberi tanda salib adalah tubuh yang suci. Salahlah jika orang melakukan tanda salib lalu setelahnya melakukan hal-hal yang tidak baik. Jadi, tanda salib dibuat sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan yang baik.
Tertulianus, yang meninggal sebelum tahun 230, berkata “Dalam semua kegiatan kita, ketika kita masuk atau keluar rumah, ketika kita hendak mengenakan pakaian, sebelum dan sesudah makan, sebelum tidur, dan sebagainya, kita hendaknya membuat tanda salib di dahi”.
Tanda salib pertama kali dimulai di Kalvari, yaitu ketika Yesus tergantung di kayu salib; sebab tanda salib lahir dari peristiwa salib Yesus. Maka, jangan tanya, “Apakah dua belas rasul juga melakukan tanda salib saat mereka masih bersama Yesus?” Ketika Yesus masih ada bersama mereka, jelaslah mereka tidak melakukan tanda salib karena Yesus belum disalibkan saat itu.
Jemaat Gereja perdana biasanya membuat tanda salib kecil di dahi. Dengan membuat tanda salib, mereka ingin menunjukkan identitas mereka sebagai pengikut Yesus, sama seperti yang kita lakukan pada saat ini. Jemaat perdana juga seringkali mengidentifikasikan diri mereka sebagai pengikut Kristus dengan cara membuat tanda salib di tanah dengan kayu atau dengan alas kaki, dan setelahnya dihapus supaya tidak dilihat orang.
Secara resmi, tanda salib muncul sekitar tahun 400-an, yaitu saat munculnya bidaah Monophysite yang menyangkal adanya dua kodrat dalam pribadi ilahi Kristus, dan dengan demikian menyangkal persekutuan Tritunggal Mahakudus. Karenanya, salah satu arti dari tanda salib adalah kemanunggalan dari Allah Trinitas: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Menurut sejarahnya, Paus Innocentius III (1198–1216) memberikan instruksi tentang bagaimana caranya membuat tanda salib:
“Beginilah Tanda Salib itu mesti dilakukan : dari atas ke bawah, dan dari kiri ke kanan – karena Kristus telah turun dari Surga ke Bumi, dari dari kaum Yahudi (kiri) kepada seluruh bangsa di dunia (kanan). Selain itu, Tanda Salib dibuat dari kiri ke kanan karena dari penderitaan (kiri) kita mesti menyeberang menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus yang harus melintasi kematian menuju kehidupan dan dari dunia orang mati (Hades) menuju Surgawi (Paradise)”.
Jadi, saudara-saudara, kita didorong untuk semakin mencinta Tuhan dan salib yang diwariskan-Nya kepada kita. Kita harus berbuat seperti yang dilakukan oleh Simon dari Kirene, yaitu menjadi orang yang berani memikul salib. Jika kita tidak mampu memikul salib orang lain, setidaknya kita bisa memikul salib kita masing-masing. Jadilah orang Katolik yang mencintai salib Tuhan dan yang mampu memikul salib sendiri.
—
Artikel ini telah tayang di JalaPress.com dengan judul “Salib Bukanlah Aib Melainkan Tanda Kemenangan”
Tentang Penulis:
RP Jufri Kano, CICM
Terlahir sebagai ‘anak pantai’, tapi memilih – bukan menjadi penjala ikan – melainkan ‘penjala manusia’ karena bermimpi mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta & CICM Maryhill School of Theology, Manila – Philippines. Moto tahbisan: “Tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5:5). Penulis dapat dihubungi via email: [email protected].