Selain Perempuan dan Laki-Laki, Ada Gender Lain di Suku Bugis
13 Juli 2019Sharyn Graham, seorang dosen senior Auckland University of Technology di New Zealand pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi Selatan pada 1998.
Kedatangannya bukan tanpa sebab, Sulawesi Selatan menjadi tujuannya untuk belajar tentang gender. Ini tentu menarik, karena kajian tentang gender biasanya lebih banyak dilakukan di daerah-daerah misalnya Eropa, Australia, Amerika, tapi mengapa seorang calon doktor (kala itu Sharyn masih berstatus sebagai mahasiswa di University of Western Australia) belajar gender ke Sulawesi Selatan?
Ada fakta mencengangkan yang saya dapatkan ketika membaca hasil penelitian dari Shary Graham. Dalam bukunya berjudul “Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia” yang diterbitkan pada tahun 2007, Sharyn mengungkapkan fakta mengenai adanya pengakuan atas lima gender oleh Suku Bugis, Sulawesi Selatan. Awalnya ia sempat kaget dengan kekayaan identitas gender yang berlaku di masyarakat Bugis. Hal ini dikarenakan di negara asalnya, Australia, ia hanya mengenal dua gender yaitu perempuan dan laki-laki, yang juga berpasangan dengan dua jenis jenis kelamin secara biologis yaitu perempuan dan laki-laki juga. Sementara Suku Bugis mengakui tiga jenis status biologis (seks) yaitu perempuan (female), laki-laki (male) dan hermafrodit, dengan empat jenis gender yaitu perempuan, laki-laki, calabai, calalai, dan bissu.
Jika kita belum terbiasa dengan istilah ini, sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara seks dan gender. Istilah seks mengacu pada profil biologis seseorang (yang berkaitan dengan alat kelaminnya), sementara gender meruju pada sikap, perasaan dan perilaku yang disematkan dengan jenis kelamin tertentu. Misalnya anggapan bahwa seorang laki-laki harus bersikap maskulin, dan seorang perempuan mesti bersikap feminim. Pendefinisian gender yang unik dan beragam ternyata ditemukan Sheryn di termanifestasi di kehidupan suku Bugis. Lalu apa itu calabai, calalai, dan bissu?
Bissu
Seorang Bissu Saidi ditanya tentang gendernya sebelum dia wafat, apakah tergolong laki-laki, perempuan, atau waria. Ia menjawab “Tidak Nak, saya ini bissu. Bissu itu sendiri.” Saidi lalu mengangkat tangannya, lalu ia menujukkan jempolnya. Ia menjelaskan kalau jempol itu bura’ne (laki-laki), kelingking itu makunrai (perempuan), telunjuk merupakan calabai (waria), jari manis adalah calalai (tomboi), dan jari tengah merupakan bissu.
Bagi masyarakat Bugis, bissudianggap sebagai figur spiritual vital yang menghubungkan manusia dengan dewa. Karena itulah, bissu merupakan kombinasi dari dua gender. Untuk menjadi seorang bissu, jika ia lahir sebagai dengan jenis kelamin laki-laki maka ia memiliki gender (pribadi) perempuan, begitu juga sebaliknya.
Kombinasi ini merujuk pada makna filosofis yang dianut oleh masyarakat Bugis kuno yang mengacu pada nama naskah klasik La Galigo. “I La Galigo” memuat makna simbolik di mana ikon manusia sempurna sekaligus penyelamat masyarakat didahului dengan simbol “Perempuan” baru kemudian simbol “Laki-laki.” Secara harfiah, ungkapan tersebut berarti manusia sempurna adalah manusia yang memiliki unsur keperempuanan dan kelaki-lakian secara seimbang dan adil.
Peran Bissu ini menjadikannya sebagai orang yang memiliki bahasanya sendiri yang juga diyakini sebagai bahasa orang-orang langit. Bahkan di masa lalu, ketika masih berbentuk kerajaan, bissu kerap diberikan kepercayaan oleh raja untuk menjaga dan melindungi arajang(pusaka kerajaan).
Calalai
Jika bissu dianggap sebagai gender yang netral, beda lagi dengan dua identitas gender calalai dan calabai. Calalai adalah seseorang dengan tubuh biologis perempuan namun menegambil peran dan fungsi laki-laki. Misalnya, Sheryn menceritakan tentang seorang Calalai bernama Rani (nama samara). Rani sehari-hari bekerja sebagai tukang besi, ia terbiasa membuat peralatan logam seperti keris, pisau, pedang, dan lainnya. Rani juga menggunakan kain sarung dan pakaian laki-laki. Ia tinggal bersama istrinya dan anak-anak yang mereka adopsi.
Rani terbiasa bekerja bersama laki-laki lain, berpakaian sebagai laki-laki, merokok, dan berjalan sendiri pada malam hari. Kebiasaan yang tak lazim dilakukan oleh para perempuan. Uniknya, Rani tidak dianggap sebagai laki-laki. Ia juga tidak berharap menjadi seorang laki-laki. Rani adalah seorang calalai.
Calabai
Sebaliknya, calabai adalah orang yang dilahirkan dengan anatomi tubuh laki-laki tetapi dalam kehidupan keseharian berperilaku sebagai perempuan. Meskipun demikian, mereka tidak menganggap dirinya sebagai perempuan, juga tidak dianggap sebagai perempuan oleh masyarakat.
Calabai juga mempunyai tugasnya sendiri, misalnya dalam mempersiapkan pesta pernikahan. Ketika tanggal pernikahan telah disepakati, keluarga mempelai akan merundingkan rencana pernikahan dengan calabai. Calabai kemudian bertanggungjawab atas banyak hal seperti mempersiapkan dan mendekorasi tenda, menyiapkan gaun pengantin baik bagi pengantin perempuan maupun laki-laki, mempersiapkan makanan, dan lainnya. Pada hari ketika pesta berlangsung, calabai akan tinggal di dapur untuk mempersiapkan makanan, sementara calabai yang lain bertugas untuk menunjukkan tempat bagi tamu undangan.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis menyebutkan bahwa relasi gender masyarakat Bugis tergolong cair. Misalnya saja gender calabai yang ditulisnya sebagai “jenis kelamin ketiga” dan calalai sebagai “jenis kelamin keempat” yang masing-masing memiliki peran di masyarakat. Gambaran akan fleksibilitas gender di kalangan orang Bugis tercermin dalam ungkapan “au’ni na woroane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui; mau’ni makkunraina woroane sipa’na” yang artinya “meskipun dia laki-laki, jika memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan yang memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki”.
Tulisan ini telah terbit di Good News From Indonesia dengan judul :
Selain Laki-Laki dan Perempuan, Ada Gender Lain di Suku Bugis, link: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/12/09/selain-laki-laki-dan-perempuan-ada-gender-lain-di-suku-bugis